Jumat, 10 Juni 2011

PENGeTAHUAN

0 comments
Pengetahuan adalah hasil dari tahu. Awalnya manu­sia tidak mengetahui apapun mengenai alam semesta pada saat lahir. Selama menjalani hidup di dunia, manusia terus mencari pengetahuan mengenai alam sekitarnya. Setiap kali memperoleh pengetahuan baru, maka wilayah gelap ketidaktahuan telah berubah menjadi pengetahuan.
Pengetahuan dapat dibagi menjadi beberapa macam. Menurut Poedjawijatna (1998: 22-23), pengetahuan mempunyai dua tingkatan yaitu pengetahuan biasa dan ilmu. Pengetahuan biasa adalah pengetahuan yang diperoleh manusia dalam hidupnya sehari-hari tanpa mengetahui seluk-beluk yang sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya, misalnya tahu bahwa air akan mendidih kalau dipanaskan. Ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh melalui cara yang lebih sistematis dan mendalam, misalnya: tidak puas dengan mengetahui bah­wa air yang dipanaskan akan mendidih maka manusia mempelajari sifat air, unsur air, syarat mendidih dan sebagainya.
Pengetahuan manusia meningkat menjadi ilmu ketika manusia tidak puas dengan hanya sekedar tahu, tetapi memuaskan rasa ingin tahunya dengan menelusuri masalah secara mendalam. Menurut Poedjawijatna (1998: 24-26), pengetahuan yang meningkat menjadi ilmu harus mempunyai beberapa sifat ilmiah yaitu:
1.      Ilmu harus sesuai dengan objeknya.
Pengetahuan harus sesuai dengan aspek yang diketahui. Tujuan ilmu adalah mencapai kebenaran sehingga ilmu harus objektif.
2.      Ilmu harus bermetode.
Ilmu harus bermetode. Metode adalah jalan tertentu untuk mencapai kebenaran.
3.      Ilmu haruslah universal.
Ilmu harus merupakan pengetahuan umum. Pengetahuan yang khusus bukanlah ilmu.
4.      Ilmu haruslah bersistem.
Ilmu harus bersistem. Ilmu yang umum haruslah me­rupakan susunan dari hal yang ada hubungannya satu sama lain.

Ilmu secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu ilmu alam dan ilmu sosial. Ilmu alam adalah ilmu yang berobjek fakta alam, misalnya ilmu falak, fisika dan biologi. Ilmu pasti termasuk dalam kelompok ilmu alam, sebab ilmu pasti mempunyai objekbejupa benda-benda. Namun benda-benda itu dilucuti sifat kebendaannya kecuali jumlah, ruang, sudut atau bidang. Keseluruhan hasil diukur secara eksak sehingga disebut ilmu eksakta. Ilmu sosial menyelidiki fenomena yang terjadinya dipengaruhi oleh perilaku manusia, misalnya pendidikan, psikologi, ekonomi, hukum, po­litik dan sebagainya. Oleh karena berhubungan dengan ma­nusia maka ilmu sosial kadang disebut sebagai ilmu budaya (humaniora).
Ilmu sosial merupakan sebuah disiplin yang berusaha memahami cara manusia bertingkah laku dalam masyarakat, baik dalam lapangan ekonomi, politik, hukum, pendidikan, dan sebagainya. Perilaku itu timbul dalam interaksi manusia dengan lingkungan baik alam maupun ma­nusia lain (human relationship). Manusia adalah makhluk sosial yang secara naluriah mempunyai dorongan untuk bergaul dan bekerja sama dengan sesama. Pilihan menjadi anggota masyarakat menjadikan manusia sebagai bagian dari organisasi sosial. Manusia dibekali kemampuan ini karena misinya untuk terus menyempurnakan dirinya men­jadi makhluk yang berbudaya dan membudayakan alam sekitarnya. Manusia mampu bertindak di luar ikatannya dengan alam sehingga kegiatannya diarahkan pada tujuan tertentu yang nilainya telah diakui menurut akalnya. Campur tangan akal telah mengubah alam (nature) menjadi kebudayaan (culture) (Daldjoeni, 1985:22). Kebutuhan akan keinginan mempelajari perilaku manusia telah menimbulkan keinginan untuk mengkaji ilmu sosial.
Perkembangan ilmu sosial tidak dapat mencapai derajad yang bisa dicapai oleh ilmu alam. Menurut Dalen, hal itu disebabkan oleh objek penelaahan gejala sosial yang kompleks, kesukaran dalam pengamatan, objek pengamatan tidak berulang dan adanya motif dalam objek yang diteliti (Suriasumantri, 2001: 134-139). Makin dekat bidang ilmu dengan pengalaman manusia maka makin besar kesatuan subjek dengan objek dan makin besar peranan subjek dalam kesatuan itu (Verhaak dan Imam, 1989: 118).
Kesukaran-kesukaran dalam ilmu sosial menyebabkan minimumnya konsensus (interagreement) yang dapat dicapai di antara para ilmuwan sosral, baik dalam konsep maupun metode keilmuan. Perbedaan dalam metode keilmuan berhubungan dengan perbedaan pemahaman mengenai kebenaran ilmu pengetahuan. Akibatnya, munculah tiga kelompok teori tentang kebenaran (Verhaak dan Imam, 1989) yaitu:
1.      Kesesuaian antara si pengenal dengan apa yang dikenal.
Kebenaran adalah kesesuaian antara si pengenal de­ngan apa yang dikenal (correspondence theory of truth). Pandangan ini menghargai pengamatan dan pemeriksaan empiris serta memuji cara kerja aposteriori. Ide berpangkal pada adanya dualitas antara si penge­nal dan apa yang dikenal. Mereka menciptakan agar apa yang terdapat dalam pengetahun si pengenal bersesuaian dengan kenyataan yang ada di luarnya. Tokoh dalam kelompok pandangan ini adalah Herakleitos, Aristoteles, Thomas Aquinas, dan para filsuf Inggris abad pertengahan.
2.      Keteguhan.
Kebenaran adalah keteguhan (coherence theory of truth). Tidak ada sikap empiris dalam mendekati pengetahu­an. Pengetahuan memerlukan kerangka kuat yang dibangun secara apriori. Tokoh dalam pandangan ini adalah Phytagoras, Parmeides, Spinoza dan Hegel.
3.      Teori kebenaran dalam praktek ilmu.
Ilmu dan agama hanya benar apabila hasil materialnya berdaya guna. Tokoh dalam kelompok ini adalah Charles S Pierce, William James dan John Dewey.

Leave a Reply

Labels